Jumat, 20 Februari 2015

WARUNG BUMI DI LANGIT BUMI

Rencana perjalanan dimulai ketika seorang teman mengajak refreshing dengan mengunjungi tempat wisata di Yogyakarta, Imogiri tepatnya. Setelah beberapa bulan yang cukup penat karena skripsi saya pun menyambutnya dengan senang hati. Sudah lama tak jalan-jalan pikirku. Risma, Rima, Eka, Sandi, ya mereka adalah teman-teman dalam perjalanan ini. Kami cukup kenal dekat karena terlibat dalam satu organisasi kampus yang sama, yaitu jurnalis kampus. Perjalanan dimulai pukul 14.45 yang molor dari rencana awal yaitu pukul 14.00. Cuaca cukup mendung, mantel pun segera kami siapkan. Berangkatlah kami dengan harapan semoga tidak hujan. Perjalanan menuju arah timur tenggara  Yogyakarta ini sudah kami jalani selama 45 menit yang kemudian kita disambut hujan cukup deras. Mantel kami pakai betul-betul rapat untuk meminimalisir air yang dapat membasahi tubuh karena kami masih setengah perjalanan. Hujan rupanya tak kunjung berhenti bahkan semakin deras, dengan hati-hati kami mengendarai sepeda motor. Nasib kurang baik terjadi pada motor seorang teman yang saya kendarai, ban bocor di tengah derasnya hujan, seakan memiliki pikiran negatif terhadap perjalanan saya kali ini. Untunglah ada tambal ban di dekat sana, butuh waktu sekitar 15 menit untuk mengganti ban dalam yang ternyata sudah tak layak pakai. Perjalanan kami lanjutkan dengan derasnya hujan yang tak kunjung turun juga. Hujan pun mulai sedikit reda tak lama kita sampai ke sebuah tempat bernama “LANGIT BUMI”.
pict : http://bumilangit.org/englishversion/The_farm_files/shapeimage_2.png
Hijau dan sejuk, ya itulah yang langsung kami rasakan saat itu. Pemandangan yang jauh berbeda dari kota. Tempat tersebut merupakan tempat makan yang bernama “Warung Bumi”. Kursi dan meja tertata rapi di sebuah pendopo yang terbuka dengan pemandangannya yang menawan.  Kami pun langsung dipersilahkan duduk dan memesan makanan, kebetulan kami lah satu-satu nya pengunjung sore itu, karena tempat makan ini sebenarnya sudah bersiap untuk tutup. Saya pikir ah tempat makan biasa saja, ternyata bukan makanan biasa yang disuguhkan di tempat makan ini. Tempat makan ini menyuguhkan segala macam variasi makanan lokal. Mie kuah dan mie goreng menggunakan bahan mie dari ketela yang mana warga Bantul biasa menyebutnya mie lethek, kemudian minuman-minuma tradisional seperti wedang uwuh, jahe, juga minuman fermentasi seperti kombucha dan kefir. Kami pun berdiskusi asyik dengan menu yang disuguhkan. Pemilik tempat makan tersebut segera menghampiri kami dan mengajak kami mengobrol, Mas Callas. Beliau bertanya tentang asal kami serta menjelaskan macam-macam menu yang disuguhkan. Beliau menjelaskan bahwa makanan bukan hanya harus hallal tapi juga thoyyiban, artinya hallallan thoyiban itu tidak dapat dipisahkan, maknanya adalah makanan yang kita makan bukan berasal dari hasil mencuri atau mengandung bahan-bahan yang diharamkan dalam Al-Qur’an serta makanan kita adalah makanan yang baik dimana kita tahu asal-muasal makanan yang kita makan serta makanan tersebut baik jika dimakan dan dicerna di dalam tubuh. Kurang lebih seperti itulah penjelasan beliau. Saya memutuskan memesan mie kuah dengan minuman kefir. Kefir yaitu minuman fermentasi, rasanya lebih asam dari yoghurt. Minuman ini konon adalah minuman Nabi Muhammad SAW jaman dahulu, mengandung banyak bakteri baik untuk mengobati penyakit pencernaan, seperti maagh. Sebagian besar bahan-bahan yang digunakan adalah hasil tanam di tempat ini, baik tanaman maupun hewan untuk bahan masak, yang tentunya dilakukan se-organik mungkin. Kami pun berkeliling sebentar untuk melihat tempat ini, tempatnya sangat homy sekali menurut saya. Macam-macam suara binatang jelas kami dengar seperti jangkring, ayam, kumbang dan hewan serangga lain. Begitu mengasyikannya suasana seperti ini, tak lupa kami juga melakukan dokumentasi dengan berfoto bersama, kamera selalu tak lupa dibawa bagi jurnalis kampus handal seperti Sandi. Setelah menjalankan sholat ashar, makanan dan minuman pun siap di meja kami. Saya meminum kefir pesanan saya dan benar rasanya asam, lebih asam dari yoghurt, namun segar, karena tak kuat dengan asamnya saya meminumnya dengan gula batu. Kemudian mie kuah yang saya pesan siap untuk disantap. Rasanya segar dan menghangatkan bagi saya yang kedinginan setelah lama perjalanan bermandikan hujan. yap benar...mie nya menggunakan mie dari ketela, yang disebut mie letek, rasanya lebih kenyal daripada mie yang berasal dari tepung gandum. Satu porsi mie saya habiskan dan mengakibatkan perut ini kenyang. Tak lama setelah kita menyantap makanan masing-masing, Mas Callas menghampiri kami untuk mengobrol. Beliau banyak bercerita tentang lingkungan dan pangan lokal.
Lingkungan yang seharusnya kita jaga namun kita hanya terus mengambil dan mengambil bukan menanam. Lahan yang semakin minim juga petani yang sudah semakin sedikit, yang berujung akhirnya impor. Impor yang berlebihan seperti gandum, dimana di Indonesia sendiri tidak cocok dengan syarat tumbuh gandum. Roti dan mie dianggap sebagai sumber karbohidrat mutlak yang praktis dan mudah didapatkan, keduanya berbahan dasar gandum dimana keduanya sudah semakin masif menjadi makanan yang banyak dimakan masyarakat Indonesia, bisa dibayangkan jika pemerintah berhenti impor gandum. Uwi, ketela, pohung, ganyong, sukun, kentang dan banyak sekali tanaman umbi-umbian yang berkarbohidrat baik dan lebih tinggi daripada gandum. Daging ayam dan sapi banyak dikonsumsi sebagai penghasil protein yang baik serta rasanya yang enak. Namun, apakah iya kedua hewan ini layak kita konsumsi sebagai makanan. Hal mendasarnya adalah apakah iya penyembelihan kedua hewan ini telah sesuai denga syariat islam, apakah iya hewan ini sehat tidak mengandung bahan berbahaya yang justru mengancam kesehatan manusia. Pertanyaan simple yang membuat saya sekarang berpikir lagi untuk makan-makanan tersebut.
Obrolan kami pun tak terasa telah sampai ke penghujung sore, adzan maghrib berkumandang memanggil kami untuk segera mengambil wudhu. Setelah sholat maghrib obrolan kami lanjutkan dengan mas Callas hingga pukul 19.00 kami bersiap pulang. Lampu segera akan dimatikan, tentunya lampu yang bukan berasal dari PLN, melainkan berasal dari tenaga surya. Hujan deras kembali mengiringi perjalanan pulang kami. Pengalaman baru dan pembelajaran baru, terima kasih untuk segala pembelajaran ini. Insyaallah bisa saya mulai dari diri saya sendiri J

Effort

Apa yang kamu dapat adalah apa yang kamu usahakan. Suatu proses usaha layaknya menjadi suatu tahap yang berharga.Setiap waktu adalah kesempatan berproses yang baik. Memang tidak serta merta menjadi “AMAZING”, tapi proses adalah menyatukan setiap huruf menjadi suatu kalimat “AMAZING”.
Siapa bilang hidup itu mudah? Mudah bagi orang-orang yang hanya menjalani hidupa dengan prinsip “jalani saja lah” haaaah, kalimat bagi orang-orang putus harapan yang bergantung dari waktu, bukan dari usahanya.
Yang penting dari suatu usaha ada konsintensinya. Konsisten dalam melakukan suatu tahapan menuju kesuksesan. Konsisten itu penting.

Semoga ini suatu pembelajaran bagi saya pula untuk selalu konsisten dalam melakukan tahap menuju kesuksesan J
pict : http://www.biworldwide.com/blog/a-lesson-in-discretionary-effort/