Rencana perjalanan
dimulai ketika seorang teman mengajak refreshing dengan mengunjungi tempat
wisata di Yogyakarta, Imogiri tepatnya. Setelah beberapa bulan yang cukup penat
karena skripsi saya pun menyambutnya dengan senang hati. Sudah lama tak
jalan-jalan pikirku. Risma, Rima, Eka, Sandi, ya mereka adalah teman-teman
dalam perjalanan ini. Kami cukup kenal dekat karena terlibat dalam satu
organisasi kampus yang sama, yaitu jurnalis kampus. Perjalanan dimulai pukul
14.45 yang molor dari rencana awal yaitu pukul 14.00. Cuaca cukup mendung,
mantel pun segera kami siapkan. Berangkatlah kami dengan harapan semoga tidak
hujan. Perjalanan menuju arah timur tenggara
Yogyakarta ini sudah kami jalani selama 45 menit yang kemudian kita
disambut hujan cukup deras. Mantel kami pakai betul-betul rapat untuk
meminimalisir air yang dapat membasahi tubuh karena kami masih setengah
perjalanan. Hujan rupanya tak kunjung berhenti bahkan semakin deras, dengan
hati-hati kami mengendarai sepeda motor. Nasib kurang baik terjadi pada motor
seorang teman yang saya kendarai, ban bocor di tengah derasnya hujan, seakan
memiliki pikiran negatif terhadap perjalanan saya kali ini. Untunglah ada
tambal ban di dekat sana, butuh waktu sekitar 15 menit untuk mengganti ban
dalam yang ternyata sudah tak layak pakai. Perjalanan kami lanjutkan dengan
derasnya hujan yang tak kunjung turun juga. Hujan pun mulai sedikit reda tak
lama kita sampai ke sebuah tempat bernama “LANGIT BUMI”.
pict : http://bumilangit.org/englishversion/The_farm_files/shapeimage_2.png
Hijau dan sejuk, ya
itulah yang langsung kami rasakan saat itu. Pemandangan yang jauh berbeda dari
kota. Tempat tersebut merupakan tempat makan yang bernama “Warung Bumi”. Kursi
dan meja tertata rapi di sebuah pendopo yang terbuka dengan pemandangannya yang
menawan. Kami pun langsung dipersilahkan
duduk dan memesan makanan, kebetulan kami lah satu-satu nya pengunjung sore
itu, karena tempat makan ini sebenarnya sudah bersiap untuk tutup. Saya pikir
ah tempat makan biasa saja, ternyata bukan makanan biasa yang disuguhkan di
tempat makan ini. Tempat makan ini menyuguhkan segala macam variasi makanan
lokal. Mie kuah dan mie goreng menggunakan bahan mie dari ketela yang mana
warga Bantul biasa menyebutnya mie lethek, kemudian minuman-minuma tradisional
seperti wedang uwuh, jahe, juga minuman fermentasi seperti kombucha dan kefir.
Kami pun berdiskusi asyik dengan menu yang disuguhkan. Pemilik tempat makan
tersebut segera menghampiri kami dan mengajak kami mengobrol, Mas Callas.
Beliau bertanya tentang asal kami serta menjelaskan macam-macam menu yang
disuguhkan. Beliau menjelaskan bahwa makanan bukan hanya harus hallal tapi juga
thoyyiban, artinya hallallan thoyiban itu tidak dapat dipisahkan, maknanya
adalah makanan yang kita makan bukan berasal dari hasil mencuri atau mengandung
bahan-bahan yang diharamkan dalam Al-Qur’an serta makanan kita adalah makanan
yang baik dimana kita tahu asal-muasal makanan yang kita makan serta makanan
tersebut baik jika dimakan dan dicerna di dalam tubuh. Kurang lebih seperti
itulah penjelasan beliau. Saya memutuskan memesan mie kuah dengan minuman
kefir. Kefir yaitu minuman fermentasi, rasanya lebih asam dari yoghurt. Minuman
ini konon adalah minuman Nabi Muhammad SAW jaman dahulu, mengandung banyak
bakteri baik untuk mengobati penyakit pencernaan, seperti maagh. Sebagian besar
bahan-bahan yang digunakan adalah hasil tanam di tempat ini, baik tanaman
maupun hewan untuk bahan masak, yang tentunya dilakukan se-organik mungkin.
Kami pun berkeliling sebentar untuk melihat tempat ini, tempatnya sangat homy sekali menurut saya. Macam-macam
suara binatang jelas kami dengar seperti jangkring, ayam, kumbang dan hewan
serangga lain. Begitu mengasyikannya suasana seperti ini, tak lupa kami juga
melakukan dokumentasi dengan berfoto bersama, kamera selalu tak lupa dibawa
bagi jurnalis kampus handal seperti Sandi. Setelah menjalankan sholat ashar,
makanan dan minuman pun siap di meja kami. Saya meminum kefir pesanan saya dan
benar rasanya asam, lebih asam dari yoghurt, namun segar, karena tak kuat
dengan asamnya saya meminumnya dengan gula batu. Kemudian mie kuah yang saya
pesan siap untuk disantap. Rasanya segar dan menghangatkan bagi saya yang
kedinginan setelah lama perjalanan bermandikan hujan. yap benar...mie nya
menggunakan mie dari ketela, yang disebut mie letek, rasanya lebih kenyal
daripada mie yang berasal dari tepung gandum. Satu porsi mie saya habiskan dan
mengakibatkan perut ini kenyang. Tak lama setelah kita menyantap makanan
masing-masing, Mas Callas menghampiri kami untuk mengobrol. Beliau banyak
bercerita tentang lingkungan dan pangan lokal.
Lingkungan yang
seharusnya kita jaga namun kita hanya terus mengambil dan mengambil bukan
menanam. Lahan yang semakin minim juga petani yang sudah semakin sedikit, yang
berujung akhirnya impor. Impor yang berlebihan seperti gandum, dimana di
Indonesia sendiri tidak cocok dengan syarat tumbuh gandum. Roti dan mie
dianggap sebagai sumber karbohidrat mutlak yang praktis dan mudah didapatkan,
keduanya berbahan dasar gandum dimana keduanya sudah semakin masif menjadi
makanan yang banyak dimakan masyarakat Indonesia, bisa dibayangkan jika
pemerintah berhenti impor gandum. Uwi, ketela, pohung, ganyong, sukun, kentang
dan banyak sekali tanaman umbi-umbian yang berkarbohidrat baik dan lebih tinggi
daripada gandum. Daging ayam dan sapi banyak dikonsumsi sebagai penghasil
protein yang baik serta rasanya yang enak. Namun, apakah iya kedua hewan ini
layak kita konsumsi sebagai makanan. Hal mendasarnya adalah apakah iya
penyembelihan kedua hewan ini telah sesuai denga syariat islam, apakah iya
hewan ini sehat tidak mengandung bahan berbahaya yang justru mengancam kesehatan
manusia. Pertanyaan simple yang
membuat saya sekarang berpikir lagi untuk makan-makanan tersebut.
Obrolan kami pun tak
terasa telah sampai ke penghujung sore, adzan maghrib berkumandang memanggil
kami untuk segera mengambil wudhu. Setelah sholat maghrib obrolan kami
lanjutkan dengan mas Callas hingga pukul 19.00 kami bersiap pulang. Lampu
segera akan dimatikan, tentunya lampu yang bukan berasal dari PLN, melainkan
berasal dari tenaga surya. Hujan deras kembali mengiringi perjalanan pulang
kami. Pengalaman baru dan pembelajaran baru, terima kasih untuk segala
pembelajaran ini. Insyaallah bisa saya mulai dari diri saya sendiri J
Tidak ada komentar:
Posting Komentar