“Bapak tidak menghargai waktu mahasiswa”. Seorang mahasiswa menegur seorang dosen
dengan tegas karena si dosen telah
berulang kali membatalkan janji untuk konsultasi. Sang dosen hanya diam tidak
menjawab. Seketika ada raut trenyuh terpancar dari mata lelahnya. Rasa yang
selama ini ia tahu namun abaikan. Sudah berapa banyak mahasiswa dan rekan yang
ia batalkan dan tunda janjinya, karena ada urusan lain yang dianggap lebih
penting atau menemui orang yang sebelumnya ia batalkan janjinya terus menerus. Berkali kali kejadian hal seperti itu terjadi,
hingga mahasiswa kadang menyerah dan menunggu “keajaiban” itu datang. Dibilang
“keajaiban” karena tiba-tiba sang dosen akan memberi pesan whatssapp atau
telfon untuk menyuruh si mahasiswa datang menemui beliau saat itu juga atau
setidaknya setengah hingga satu jam sejak pesan tersebut dikirim. Si mahasiswa
yang mungkin sedang scroll akun gosip
atau artis yang disuka meloncat panik, mengambil handuk untuk sekedar cuci muka
lalu ngacir sambil tak lupa membawa draft revisian satu bulan lalu. Bagaimana
kabar dengan mahasiswa yang mungkin saat itu sedang berada di luar daerah, ada
kepentingan lain, tidak mempunyai kuota, telepon genggamnya rusak dan lain
sebagainya. Mahasiswa malang itu akan menunggu lagi “keajaiban” datang dan
mencoba usaha yang kemungkinan besarnya gagal plus bikin dongkol.
Sekali lagi, sang
dosen masih terdiam sementara si mahasiswa masih dengan tatapan ingin
penjelasan, atau setidaknya kata maaf. Terbesit rasa sungkan si mahasiswa
kepada dosen karena pernyataan yang cukup menohok ia lontarkan. Tapi
lupakanlah, toh dia juga mewakili perasaan teman-teman yang selama ini menjadi
“korban” dari dosen tersebut. Sesi konsultasi berakhir tanpa banyak basa-basi.
Si mahasiswa pamit dengan perasaan sedikit lega telah mengeluarkan kalimat
tersebut dari mulutnya. Di dalam ruangannya, sang dosen merekatkan sela-sela
jari tangannya mengangkatnya keatas dan terus memikirkan kalimat yang terlontar
dari mahasiswa bimbingan. Mungkin benar, ya benar. Ia sudah memikirkan itu
betul-betul. Selama ini ia abai akan perasaan orang lain dan tidak ada orang
yang cukup punya nyali untuk menegurnya. Hingga hari ini seorang mahasiswa
semester akhir yang berniat untuk segera lulus dengan tegas menegurnya.