Rabu, 21 Maret 2018

Teguran untuk Dosen

“Bapak tidak menghargai waktu mahasiswa”. Seorang mahasiswa menegur seorang dosen dengan tegas  karena si dosen telah berulang kali membatalkan janji untuk konsultasi. Sang dosen hanya diam tidak menjawab. Seketika ada raut trenyuh terpancar dari mata lelahnya. Rasa yang selama ini ia tahu namun abaikan. Sudah berapa banyak mahasiswa dan rekan yang ia batalkan dan tunda janjinya, karena ada urusan lain yang dianggap lebih penting atau menemui orang yang sebelumnya ia batalkan janjinya terus menerus.  Berkali kali kejadian hal seperti itu terjadi, hingga mahasiswa kadang menyerah dan menunggu “keajaiban” itu datang. Dibilang “keajaiban” karena tiba-tiba sang dosen akan memberi pesan whatssapp atau telfon untuk menyuruh si mahasiswa datang menemui beliau saat itu juga atau setidaknya setengah hingga satu jam sejak pesan tersebut dikirim. Si mahasiswa yang mungkin sedang scroll akun gosip atau artis yang disuka meloncat panik, mengambil handuk untuk sekedar cuci muka lalu ngacir sambil tak lupa membawa draft revisian satu bulan lalu. Bagaimana kabar dengan mahasiswa yang mungkin saat itu sedang berada di luar daerah, ada kepentingan lain, tidak mempunyai kuota, telepon genggamnya rusak dan lain sebagainya. Mahasiswa malang itu akan menunggu lagi “keajaiban” datang dan mencoba usaha yang kemungkinan besarnya gagal plus bikin dongkol.
           Sekali lagi, sang dosen masih terdiam sementara si mahasiswa masih dengan tatapan ingin penjelasan, atau setidaknya kata maaf. Terbesit rasa sungkan si mahasiswa kepada dosen karena pernyataan yang cukup menohok ia lontarkan. Tapi lupakanlah, toh dia juga mewakili perasaan teman-teman yang selama ini menjadi “korban” dari dosen tersebut. Sesi konsultasi berakhir tanpa banyak basa-basi. Si mahasiswa pamit dengan perasaan sedikit lega telah mengeluarkan kalimat tersebut dari mulutnya. Di dalam ruangannya, sang dosen merekatkan sela-sela jari tangannya mengangkatnya keatas dan terus memikirkan kalimat yang terlontar dari mahasiswa bimbingan. Mungkin benar, ya benar. Ia sudah memikirkan itu betul-betul. Selama ini ia abai akan perasaan orang lain dan tidak ada orang yang cukup punya nyali untuk menegurnya. Hingga hari ini seorang mahasiswa semester akhir yang berniat untuk segera lulus dengan tegas menegurnya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar