Selasa, 05 November 2019

Privillige


Apa yang aku dapatkan saat ini tidak terlepas dari peran orang tua. Entah apa itu namanya, banyak orang bilang itu istilahnya privillige. Oke, kemudian apakah aku seperti ini karena privillige orang tuaku? Yes, tentu saja. Aku tidak akan bisa kuliah S2 dan menjadi dosen saat ini jika waktu itu orang tuaku tidak memiliki cukup uang untuk membiayai ku kuliah. Kegagalanku mendapatkan beasiswa tidak menurunkan semangat dan kepercayaan dari orang tua bahwa aku mampu melanjutkan studi. Jika aku tidak mendapat privillige tersebut, mungkin selepas sarjana aku lebih memilih mencari pekerjaan dibandingkan mencari beasiswa lalu lanjut studi.
Privillige yang dapatkan tidak senantiasa membuatku lupa diri. Sejak kuliah S2 aku berusaha tidak membebani orangtua dengan biaya dan gaya hidupku. Walaupun uang mingguan yang diberikan mepet, akan aku gunakan sebaik mungkin. Aku pun mencari uang tambahan dengan menjadi guru privat, ikut proyek kampus, onlineshop dan membuka jasa analisis lab. Uang yang aku dapat dari pekerjaan freelance tersebut aku gunakan untuk membeli pakaian, buku, sepatu, tas, kado untuk pacar, hangout, dan lain lain.
Sampai di umurku yang ke 27 tahun ini pun terasa perasaan aku masih memiliki privillige dari orangtua. Aku selalu bersyukur apapun itu privillige yang aku dapatkan dan aku sudah menggunakan privillige tersebut ke hal yang baik.
Jadi, privillige apa yang dapat aku berikan untuk anak-anakku kelak?
Semoga lebih baik. Hehehee J


Kamis, 05 September 2019

Pasca Wedding


          

            Kehidupan Ani berubah 180 derajat setelah ia menikah dengan Beno. Ekspekstasi tentang kehidupan pasca menikah yang mereka bayangkan banyak yang terpatahkan. Sejak memikirkan akan menikah, Ani sudah berandai-andai setiap pagi ia memasak untuk suaminya juga tak lupa mempersiapkan bekal untuk makan siangnya. Namun, kiranya pagi itu tak sesuai dengan angan-angannya.
               “Dek, baju batik ku dimana ya?” Tanya Beno sambil sibuk mencari.
Ani yang sedang sibuk menggoreng telur tersadarkan kalau sepertinya baju tersebut belum ia setrika.
“Duh iya mas, belum adek setrika. Tunggu sebentar ya mas, adek kelarin goreng telur dulu.
“Duh cepetan, ini kan hari senin jadwalnya pakai seragam batik itu”kesal Beno.
Baru saja hendak menyetrika, dengungan teko tanda air mendidih bunyi dengan lantangnya.
“DUUUUH” kata Ani.
“Mana baju ku dek, juga mana sarapanku keburu telat?” Tanya Beno.
               “Iyaaa iyaaa mas, sabar ya” Jawab Ani sambil kembali menyetrika seusai mengisi air kedalam termos.
Baju batik sudah selesai disetrika, kini waktunya Ani melanjutkan kegiatan memasaknya di dapur. Namun waktu sudah menunjukkan pukul  06.45. Sementara Beno harus masuk pukul 07.30.
                “Mas, baru punya telur goreng. nggak sempet ya kalau aku masak sayur dulu?” Tanya Ani dengan sedikit muka memelas.
“Ahhhhh sudah-sudah mana telurnya, apa saja deh yang penting sarapan dulu” Jawab Beno menahan kesal.
Terkejutlah Ani ketika ia mendapati beras di rice cooker yang belum matang, rupanya Ani lupa untuk memencet tombol cook. Ya, pagi itu seperti bencana bagi Ani. Boro-boro mempersiapkan bekal untuk suaminya, mempersiapkan makan untuk sarapannya saja keteteran.
“Mas, nggak ada nasi lupa pencet tombol cook, Ani beli nasi di warung dulu aja ya” Ani memelas.
“Aaaaah sudah-sudah aku makan diluar aja sekalian berangkat” Jawab Beno kesal. Beno segera mengambil tas dan kunci mobilnya. Ia pergi tanpa pamit.
Sementara di rumah, Ani merasa gagal di hari pertamanya sebagai seorang istri dari Beno, lelaki yang ia cintai. Beberapa menit berselang, Ani mendengar suara mobil yang tak asing di telinganya. Suara mobil Beno. Ia buru-buru membuka pintu sambil menyeka air mata. Ani hanya bengong melihat Beno keluar dari mobil lalu masuk rumah dan memeluknya. Sambil berkata.
“Tak apa sayangku, jangan menangis. Bukan salahnya adek, mas bisa sarapan diluar. Nggak papa. Udah ya jangan nangis”
“Maaf ya mas” Tangisan Ani kembali deras.
“Udah-udah, mas nggak mau pergi kerja lihat adek sedih. Mas nggak mau berangkat sebelum nangisnya berhenti” Beno berkata.
Ani segera menyeka air matanya. Tangisannya kini berganti jadi senyum di bibirnya.
“kricik kricik” terdengar bunyi air yang meluber.
“eeeeh aku lupa matiin kran air mas, hehehehehe” kata Ani.
Beno pun segera berangkat ke kantor.

Kamis, 21 Februari 2019

21 Februari 2019 (H-3 Minggu cabut dari Kos)

Hari ini aku membereskan beberapa barang yang kiranya sudah tak terpakai. Kamar kos ini aku huni lebih dari 8 tahun. Ternyata banyak sekali barang yang sejak 8 tahun aku simpan. Begitu banyak barang hingga aku harus memilah mana yang aku simpan dan buang. Di suatu ketika memilah, aku menemukan co card kepanitian yang selama ini ternyata aku kumpulkan, mulai dari panitia ospek, kunjungan ilmiah, pelatihan jurnalistik, pelantikan organisasi, seminar dan lain-lain. Kembali memilah, aku menemukan beberapa ucapan ulang tahun, sidang skripsi, sidang tesis, wisuda dari orang terdekat. Seketika senyum tersungging dari bibirku, banyak orang baik di sekitarku. Alhamdulillah. Buku tulis, buku kuliah, materi-materi kuliah yang dirasa penting aku simpan, sedangkan tumpukan revisi tesis dan banyak kertas tidak penting aku sisihkan ke kardus sebagai barang yang akan aku buang. Banyak coretan menandakan banyaknya kenangan. Itu yang aku lihat di beberapa hasil revisian tiap kali bimbingan. Pikiran menyusuri ruang nostalgia tentang bagaimana aku melewati masa kuliah selama 7 tahun ini. Semua ada disana, tentang rasa bahagia, ingin tahu, bosan, sedih, bangga, resah, semuanya yang tak aku lupa.
Sejenak aku berpikir, apa yang aku lakukan selama ini dengan menghamburkan banyak kertas yang pada akhirnya berakhir di tukang loak. Kertas salah print, fotocopy, ini terlalu banyak pikirku. Jengah sendiri melihatnya. Tidak kalah jengahnya aku ketika melihat pakaian-pakaian yang lama sudah tidak terpakai. Terlalu banyak pakaian di lemari ini yang bahkan aku tidak ingat kapan dan kenapa aku membelinya. Sejujurnya, aku berpikir bahwa aku bukan wanita yang suka berbelanja, namun melihat tumpukan baju ini rasanya aku mematahkan pikiranku sendiri.
Kegiatan beres-beres kosan ini semakin memantik pikiranku untuk hidup minimalis. Sudah terpikirkan memang sebelumnya. Alangkah tidak ribetnya memiliki pakaian yang sedikit, tidak perlu bingung mau pakai yang mana. Meminimalisir membeli barang-barang tidak penting yang ingin dibeli hanya karena “lucu”, come on sudahlah barang-barang “lucu” itu hanya akan dinikmati beberapa hari saja, selanjutnya lupa dan tau-tau kamar jadi penuh dengan barang-barang remeh seperti itu.

Pada akhirnya semua barang yang ada di kamar kos ini akan menjadi kenangan, sebenarnya bukan tidak ingin mengingatnya karena tidak penting, tapi apalah daya beberapa barang memang sebaiknya dibuang untuk mensederhanakan isi ruang demi kesehatan pandangan dan jiwa. Percayalah, semua yang bermakna tidak akan terlupa. Kalaupun terlupa, itu tandanya sudah tua. Sekian curhatan anak kos yang mau pulang kampung karena akan menikah. du du du du du du ;)