Senin, 03 September 2018

PASAR MALAM

Angin bertiup menggetarkan dingin di malam minggu sebuah pasar malam. Dingin yang menusuk hingga tulang. Malam itu Marno sedang berperang dengan dinginnya suhu 140C. “Sial musim dingin begini kenapa tetap buka sih” batin Marno ketika ia berganti pakaian. Jaket tebal yang sedari tadi membalut tubuhnya telah tergantung, kini ia hanya memakai kaos kutang dan celana pendek. “Siap ya Mar, sudah ditunggu” perintah seorang yang mungkin atasannya. Tanpa menajwab Marno hanya mengacungkan ibu jari tanda setuju.
Malam itu Marno bersama rekan satu tim nya mengoperasikan salah satu wahana permainan di pasar malam. Pasar malam itu sendiri sudah 21 hari beroperasi. Ramai saat akhir pekan dan sepi saat hari biasa. Maklum saat itu bukan waktunya libur sekolah, orang tua juga enggan mangajak anak mereka pergi karena esoknya harus berangkat sekolah.
Hidup Marno memang tak lepas dari kerasnya kehidupan malam. Ia lahir di perkampungan prostitusi terbesar di kota itu. Tak tahu ibunya siapa, apalagi ayahnya, pun ia bertemu ibunya dan bertanya siapa ayahnya, tidak yakin juga sang ibu bisa menjawab. Sudahlah, bagi Marno tak penting dari rahim wanita mana ia lahir, toh kenyatannya ia ditelantarkan karena sesungguhnya keberadaanya yang tidak diinginkan. Ia diasuh oleh seorang pemilik motel, sehingga sejak kecil Marno bekerja di motel tersebut. Membersihkan lantai, mencuci, membersihkan kamar mandi, mengganti sprei hingga memperbaiki atap bocor. Segala pekerjaan ia lakukan demi membalas kebaikan sang pemilik motel.
Saat berumur 18 tahun Marno memutuskan untuk pergi dari tempat itu. Ia akan pergi ke kota besar, mencari kehidupan yang baru. Dengan berbekal uang 120 ribu, satu tas ransel lusuh berisi beberapa pakaian dan niat menggebu Marno berangkat dengan menumpang dari satu truk ke truk lain. Oleh suprik truk yang baik hati ia kadang ditraktir makan walaupun hanya lauk teri, tentu hanya ada satu atau dua yang seperti itu. Sampailah ia di kota besar itu. Kota dengan bangunan menjulang tinggi, hiruk pikuk orang menyebrang jalan, klakson yang bersahutan terlihat tak mau kalah. Suatu pemandangan yang sungguh baru bagi Marno. Selama ini yang ia lihat hanya wanita berpakain mini keluar masuk kamar bersama laki-laki tua.
Kepergian Marno ke ibukota bukan tanpa rencana, ia telah mengenggam foto 5x6 yang dibelakangnya telah tertera sebaris alamat. “aku harus menemui orang ini, ya..betul” batin Marno memantapkan hatinya.
Pada suatu subuh Marno hendak ke sumur untuk buang hajat, selesainya ia bertemu dengan laki-laki paruh baya yang keluar dari motel. Dengan sempoyongan laki-laki itu bertanya kepada Marno tentang asal usulnya lalu mengeluarkan sebuah foto dan menulis sebaris alamat. “Temui aku disini, kau akan hidup enak.hahaha” kata laki-laki tersebut sambil berlalu.
Berminggu-minggu hingga bertahun-tahun Marno memikirkan kata-kata laki-laki itu, hingga akhirnya ia mantap menuju ibukota, dia memiliki angan nantinya ia akan dipekerjakan di rumah besar milik laki-laki tadi sebagai satpam atau tukang kebun.
Seiring mencari alamat itu selama 2 hari, uang Marno telah habis. Sesampainya Marno di rumah yang dituju, terkejutnya ia mendapati rumah mewah begitu besar lengkap dengan gazebo di depannya. Bukan sambutan hangat yang didapat justru Marno diusir dari rumah itu. Ia bersikeras ingin menemui pemilik rumah sambil memperlihatkan foto yang ada di tangannya. Keluarlah laki-laki itu, ya laki-laki seperti yang ada di foto, bedanya sekarang ia agak kurus dan berkumis. “Siapa kau” teriak laki-laki paruh baya dari dalam rumah. “aku Marno, anak yang engkau temui dan kau janjikan hidup enak bersama mu, sambil ia memperlihatkan foto di tangannya” seru Marno. Sambil mengernyitkan dahi dan mengingat ingat, lantas laki-laki paruh baya itu berkata “hahahahaha….kau datang kesini karena itu? Hahaha….pulanglah aku mabuk waktu itu, tak ada yang kau harapkan disini, pergii…pulang sana”.
Akhirnya Marno diusir dengan ketikberdayaannya ia hanya berjalan dari terminal ke terminal.  Singkat cerita, kehidupan Marno setelah itu sangat berantakan, hingga ia sekarang menjadi pekerja di wahana permainan pasar malam. Orang-orang menyebutnya arjuna. Dengan kekuatan yang dimilikinya ia memutar kursi lingkaran naik turun dan mempertontonkan atraksi di tiang paling atas.
“Ayoo ayooo antri jangan berebut, nanti semua kebagian naik…...yaaak, berhenti disitu di mas berbaju ijo, silahkan hati-hati naik ke kursi dibantu oleh arjuna-arjuna kami, hati…hati. Semua sudaaaaaaah naiiiiiikkkkk? Siaaaaap digoyaaaaaaang bersama goyaaaang asmaraaa, mana tepuk tangannya???”
Riuh tepuk tangan berdatangan dari pengunjung yang tak sabar menjajal wahana goyang asmara ini. Tempat duduk tinggi yang membentuk lingkaran itu mulai diputar manual oleh orang dibawah. Pemandu permainan memberi aba-aba, Marno sudah siap melakukan tugasnya. Marno berlari kesana kemari untuk memutar kursi lingkaran tersebut. Lebih menarik lagi, kini Marno sudah naik ke atas tiang untuk mempertontonkan atraksinya, ia mulai melempar kaos kutangnya dan mengeluarkan api dari dalam mulutnya. Semakin liar aksi Marno, semakin riuh tepuk tangan penonton. Beberapa penonton bahkan memberikan saweran,  2 ribu 5 ribu 10 ribu, paling besar pernah ia dapat 50 ribu.
Waktu menunjukkan pukul 22.30, ia masih dengan keringat bercucuran dan berusaha memburu nafasnya. Sudah 6 kali ia mempertontonkan aksinya seperti itu, lelah yang dilanda Marno hampir tak ia rasakan, ia hanya ingin permainan keparat ini segera berakhir. Beberapa kali ia ijin dengan atasannya untuk istirahat satu putaran saja dengan alasan kelelahan, tentu bukan itu penyebabnya. Ia tahu sudah ada seorang wanita yang menunggunya di pojok pasar malam dekat tempat Cak Sarip berjualan kembang gula. Beberapa kali ia melihat samar-samar tempat itu, aah dia memakai dress motif batik dengan bando cantik di rambutnya yang sedikit bergelombang. Sudah tak sabar Marno, rasanya ia ingin meloncat dari atas tiang dan menghampiri Surti. Gadis yang ia temui di pasar malam sebagai pengunjung sejak hari pertama pasar malam dibuka. Permainan pun selesai, waktu menunjukkan pukul 23.30. Wanita yang menunggunya sudah tidak ada di tempatnya. Dengan panik Marno mencarinya kesana-kemari, dimulai dari bertanya kepada Cak Sarip dan orang lain yang mungkin melihatnya. Semua nihil, tak ada jawaban. Lebih tepatnya tidak ada yang mau memberi jawaban. Sampai akhirnya ia melihat ada sesuatu yang aneh dibalik tenda. Ia mendengar teriakan Surti. Lebih kaget lagi ia melihat Prayit yang membuat Surti kesakitan. Pakaiannya compang-camping, tubuhnya lemah sepertinya mau mati.
Tanpa pikir panjang Marno melepas kaos kutangnya, berlari menghampiri Prayit dengan teriakan “Hei bangsat….kemari kau”. Prayit tak kalah kagetnya. Tubuhnya sempoyongan namun masih dapat sadar apa yang dilihatnya. Tanpa bisa berkata apa-apa, Marno sudah meilitkan kaos kutangnya di leher Prayit. Tubuh Prayit yang tak sekekar dan sekuat Marno dengan mudah ambruk. Tanpa ampun Marno mencekik leher Prayit. Beberapa menit kemudian, sudah tak ada tanda-tanda kehidupan di tubuh Prayit. Malam itu menjadi malam terkahir Marno bekerja di pasar malam. Ia tak pernah kembali bersama rekan satu tim nya menjadi arjuna.

-end-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar