Angin
bertiup menggetarkan dingin di malam minggu sebuah pasar malam. Dingin yang
menusuk hingga tulang. Malam itu Marno sedang berperang dengan dinginnya suhu 140C.
“Sial musim dingin begini kenapa tetap buka sih” batin Marno ketika ia berganti
pakaian. Jaket tebal yang sedari tadi membalut tubuhnya telah tergantung, kini
ia hanya memakai kaos kutang dan celana pendek. “Siap ya Mar, sudah ditunggu”
perintah seorang yang mungkin atasannya. Tanpa menajwab Marno hanya
mengacungkan ibu jari tanda setuju.
Malam
itu Marno bersama rekan satu tim nya mengoperasikan salah satu wahana permainan
di pasar malam. Pasar malam itu sendiri sudah 21 hari beroperasi. Ramai saat
akhir pekan dan sepi saat hari biasa. Maklum saat itu bukan waktunya libur sekolah,
orang tua juga enggan mangajak anak mereka pergi karena esoknya harus berangkat
sekolah.
Hidup
Marno memang tak lepas dari kerasnya kehidupan malam. Ia lahir di perkampungan
prostitusi terbesar di kota itu. Tak tahu ibunya siapa, apalagi ayahnya, pun ia
bertemu ibunya dan bertanya siapa ayahnya, tidak yakin juga sang ibu bisa
menjawab. Sudahlah, bagi Marno tak penting dari rahim wanita mana ia lahir, toh
kenyatannya ia ditelantarkan karena sesungguhnya keberadaanya yang tidak
diinginkan. Ia diasuh oleh seorang pemilik motel, sehingga sejak kecil Marno
bekerja di motel tersebut. Membersihkan lantai, mencuci, membersihkan kamar
mandi, mengganti sprei hingga memperbaiki atap bocor. Segala pekerjaan ia
lakukan demi membalas kebaikan sang pemilik motel.
Saat
berumur 18 tahun Marno memutuskan untuk pergi dari tempat itu. Ia akan pergi ke
kota besar, mencari kehidupan yang baru. Dengan berbekal uang 120 ribu, satu
tas ransel lusuh berisi beberapa pakaian dan niat menggebu Marno berangkat
dengan menumpang dari satu truk ke truk lain. Oleh suprik truk yang baik hati
ia kadang ditraktir makan walaupun hanya lauk teri, tentu hanya ada satu atau
dua yang seperti itu. Sampailah ia di kota besar itu. Kota dengan bangunan
menjulang tinggi, hiruk pikuk orang menyebrang jalan, klakson yang bersahutan
terlihat tak mau kalah. Suatu pemandangan yang sungguh baru bagi Marno. Selama
ini yang ia lihat hanya wanita berpakain mini keluar masuk kamar bersama
laki-laki tua.
Kepergian
Marno ke ibukota bukan tanpa rencana, ia telah mengenggam foto 5x6 yang
dibelakangnya telah tertera sebaris alamat. “aku harus menemui orang ini,
ya..betul” batin Marno memantapkan hatinya.
Pada
suatu subuh Marno hendak ke sumur untuk buang hajat, selesainya ia bertemu
dengan laki-laki paruh baya yang keluar dari motel. Dengan sempoyongan
laki-laki itu bertanya kepada Marno tentang asal usulnya lalu mengeluarkan
sebuah foto dan menulis sebaris alamat. “Temui aku disini, kau akan hidup
enak.hahaha” kata laki-laki tersebut sambil berlalu.
Berminggu-minggu
hingga bertahun-tahun Marno memikirkan kata-kata laki-laki itu, hingga akhirnya
ia mantap menuju ibukota, dia memiliki angan nantinya ia akan dipekerjakan di
rumah besar milik laki-laki tadi sebagai satpam atau tukang kebun.
Seiring
mencari alamat itu selama 2 hari, uang Marno telah habis. Sesampainya Marno di
rumah yang dituju, terkejutnya ia mendapati rumah mewah begitu besar lengkap
dengan gazebo di depannya. Bukan sambutan hangat yang didapat justru Marno
diusir dari rumah itu. Ia bersikeras ingin menemui pemilik rumah sambil
memperlihatkan foto yang ada di tangannya. Keluarlah laki-laki itu, ya
laki-laki seperti yang ada di foto, bedanya sekarang ia agak kurus dan
berkumis. “Siapa kau” teriak laki-laki paruh baya dari dalam rumah. “aku Marno,
anak yang engkau temui dan kau janjikan hidup enak bersama mu, sambil ia
memperlihatkan foto di tangannya” seru Marno. Sambil mengernyitkan dahi dan
mengingat ingat, lantas laki-laki paruh baya itu berkata “hahahahaha….kau
datang kesini karena itu? Hahaha….pulanglah aku mabuk waktu itu, tak ada yang
kau harapkan disini, pergii…pulang sana”.
Akhirnya
Marno diusir dengan ketikberdayaannya ia hanya berjalan dari terminal ke
terminal. Singkat cerita, kehidupan
Marno setelah itu sangat berantakan, hingga ia sekarang menjadi pekerja di
wahana permainan pasar malam. Orang-orang menyebutnya arjuna. Dengan kekuatan
yang dimilikinya ia memutar kursi lingkaran naik turun dan mempertontonkan
atraksi di tiang paling atas.
“Ayoo
ayooo antri jangan berebut, nanti semua kebagian naik…...yaaak, berhenti disitu
di mas berbaju ijo, silahkan hati-hati naik ke kursi dibantu oleh arjuna-arjuna
kami, hati…hati. Semua sudaaaaaaah naiiiiiikkkkk? Siaaaaap digoyaaaaaaang
bersama goyaaaang asmaraaa, mana tepuk tangannya???”
Riuh
tepuk tangan berdatangan dari pengunjung yang tak sabar menjajal wahana goyang
asmara ini. Tempat duduk tinggi yang membentuk lingkaran itu mulai diputar
manual oleh orang dibawah. Pemandu permainan memberi aba-aba, Marno sudah siap
melakukan tugasnya. Marno berlari kesana kemari untuk memutar kursi lingkaran
tersebut. Lebih menarik lagi, kini Marno sudah naik ke atas tiang untuk
mempertontonkan atraksinya, ia mulai melempar kaos kutangnya dan mengeluarkan
api dari dalam mulutnya. Semakin liar aksi Marno, semakin riuh tepuk tangan
penonton. Beberapa penonton bahkan memberikan saweran, 2 ribu 5 ribu 10 ribu, paling besar pernah ia
dapat 50 ribu.
Waktu
menunjukkan pukul 22.30, ia masih dengan keringat bercucuran dan berusaha
memburu nafasnya. Sudah 6 kali ia mempertontonkan aksinya seperti itu, lelah
yang dilanda Marno hampir tak ia rasakan, ia hanya ingin permainan keparat ini
segera berakhir. Beberapa kali ia ijin dengan atasannya untuk istirahat satu
putaran saja dengan alasan kelelahan, tentu bukan itu penyebabnya. Ia tahu
sudah ada seorang wanita yang menunggunya di pojok pasar malam dekat tempat Cak
Sarip berjualan kembang gula. Beberapa kali ia melihat samar-samar tempat itu,
aah dia memakai dress motif batik dengan bando cantik di rambutnya yang sedikit
bergelombang. Sudah tak sabar Marno, rasanya ia ingin meloncat dari atas tiang
dan menghampiri Surti. Gadis yang ia temui di pasar malam sebagai pengunjung
sejak hari pertama pasar malam dibuka. Permainan pun selesai, waktu menunjukkan
pukul 23.30. Wanita yang menunggunya sudah tidak ada di tempatnya. Dengan panik
Marno mencarinya kesana-kemari, dimulai dari bertanya kepada Cak Sarip dan
orang lain yang mungkin melihatnya. Semua nihil, tak ada jawaban. Lebih
tepatnya tidak ada yang mau memberi jawaban. Sampai akhirnya ia melihat ada
sesuatu yang aneh dibalik tenda. Ia mendengar teriakan Surti. Lebih kaget lagi
ia melihat Prayit yang membuat Surti kesakitan. Pakaiannya compang-camping,
tubuhnya lemah sepertinya mau mati.
Tanpa
pikir panjang Marno melepas kaos kutangnya, berlari menghampiri Prayit dengan teriakan
“Hei bangsat….kemari kau”. Prayit tak kalah kagetnya. Tubuhnya sempoyongan
namun masih dapat sadar apa yang dilihatnya. Tanpa bisa berkata apa-apa, Marno
sudah meilitkan kaos kutangnya di leher Prayit. Tubuh Prayit yang tak sekekar
dan sekuat Marno dengan mudah ambruk. Tanpa ampun Marno mencekik leher Prayit.
Beberapa menit kemudian, sudah tak ada tanda-tanda kehidupan di tubuh Prayit. Malam
itu menjadi malam terkahir Marno bekerja di pasar malam. Ia tak pernah kembali
bersama rekan satu tim nya menjadi arjuna.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar