Sejenak, mata sayu itu
tak melepas pandangannya selama 1 menit dari seorang anak dengan baju lusuh
serta sandal jepit yang hampir putus. Kemudian teringat ia dengan Zaky,cucu
laki-lakinya yang sudah meninggal dua tahun yang lalu. Diberikanya nasi bungkus
yang ia beli tadi. “te..te..terima kasih nenek” kata anak malang tersebut
seraya pergi. Mungkin ia malu atau tak sabar membaginya dengan anak-anak malang
lain yang tengah kelaparan sepertinya. Dengan senyuman bahagia yang terlihat
dari muka tuanya, mbah Jiah kembali, ditemani dengan tongkat yang juga tua
miliknya.
Waktu menunjuk pukul 15.00 saat itu ia sudah pergi mencari seseorang yang
mungkin masih mau untuk adzan di suro dekat rumahnya. Diketok lah rumah Fani,
pemuda yang biasanya adzan jika ia tak sibuk. Fani sudah semakin sibuk dengan
pekerjaanya sekarang, ya mbah jiah memakluminya jika ia belum pulang sore itu.
Memang, menjelang waktu untuk sholat ia selalu mencari lelaki yang dengan
ikhlas mau untuk adzan. Kadang mereka datang sendiri, tetapi kadang mbah jiah
yang mencarinya. Suro itu kini sepi, entah karena apa. Kadang ada beberapa tiga
atau empat orang yang masih mau shalat berjamaah di suro. Walaupun begitu, mbah
jiah yakin ada banyak malaikat di dalam suro itu selama ia masih beribadah dan berdzikir
disana. Lalu, dengan langkah berat ia terus berjalan, sampai di suatu
persimpangan jalan, mbah Jiah bertemu dengan bapak paruh baya asing yang
tak pernah ia lihat, bukan warga sini sepertinya. “mbah...mbah, masjid terdekat
disini dimana ya?” tanya nya. “alhamdulillah, ayo ikut saya” mbah Jiah
berkata pada orang itu. Dengan perasaan bingung bapak tersebut yang baru saja
diketahui bernama Sarjo mengikuti saja mbah Jiah sampai ia sampai di depan
suro dengan halaman yang bersih. Ya, mbah jiah memang selalu menyapu
halaman suro ini tiap pagi hari sebelum ia pergi ke sungai. “kok sepi mbah?”.
“iya, maka dari itu lekaslah adzan” perintahnya. Adzan selesai
berkumandang, beberapa saat kemudian dua orang perempuan dan satu orang
laki-laki telah menempati shaf nya. “ Cuma segini mbah?”. “iya,sudah segeralah
komat dan sholat” mbah jiah menjawab.
Selesai shalat dan berdoa tentunya, pintu suro yang berdecit ditutup oleh mbah Jiah
dengan sedikit usaha, mungkin karena ia sudah tua, tak seperti 26 tahun yang
lalu saat ia masih kuat untuk mengelilingi ka’bah bersama ribuan orang lain
serta mencium hajar aswad ditengah kerumunan orang dari berbagai negara. Mbah Jiah
memang pernah pergi haji. Waktu itu tak akan ada yang mengira mbah Jiah
yang dulu hanya seorang pekerja kasar di pasar setelah ditinggal mati suaminya
bisa pergi haji. Anak satu-satunya mbah jiah memang ingin sekali bisa menaikkan
haji ibunya. Ia mencoba berbagi cara sampai banyak acara kuis yang ia ikuti.
Sampai akhirnya ia coba mengirimkan bungkus produk susu seperti iklan di tivi.
Tak disangka-sangka bagi tersambar petir, ia menang juara satu dengan hadiah
pergi haji gratis. Hadiah ini ia berikan untuk mbah Jiah. Sontak, bak api yang
menyambar, berita tersebut menyebar hingga seluruh desa bahkan sampai desa-desa
sebelah. Senang bukan kepalang ia dapatkan hadiah itu, ya tentunya sebelum
ia tahu anak dan menantunya akan mengalami kecelakaan tragis sesaat ia pulang
haji. Dalam kecelakaan itu hanyaZaky yang selamat, saat itu ia berumur 2 tahun.
Sudah tak dapat dibayangkan lagi perasaan mbah Jiah ditinggal anak dan
menantunya yang sudah bisa menaikkan nya haji. Cobaan belum usai untuk mbah
Jiah, dua tahun lalu Zaky meninggal dunia karena demam berdarah, penyakit itu
telah merenggut nyawa satu-satunya cucu mbah Jiah. Kini ia tinggal sendiri
dengan rumah tua yang berada di samping suro. Dengan tubuh rentanya, ia hanya
mengandalkan pensiunan suaminya sebagai pejuang veteran yang tentunya tak
seberapa, hanya cukup untuk makan sehari-hari saja, kadang ia sisakan sedikit
untuk bersedekah.
“mbah, saya pulang dulu ya. Sebenarnya saya kesini untuk mencari teman tapi
orangnya tidak ada” ujar pak Sarjo sambil memakai sepatu hitam yang tampak
agak lusuh. “ya, pulanglah nak. Hati-hati” pesan mbah jiah. “wasalamualaikum”.
“walaikumsallam”. Mbah jiah kembali kerumahnya, diambilnya beberapa pakaian
kotor lekas ia pergi ke kali sekitar 50 meter dari rumahnya. Jalan kali yang
dilalui sangat terjal serta menanjak apalagi sore itu jalanya sangat licin.
Licin mungkin karena saking banyaknya orang yang datang sejak pagi tadi. Ya,
besok sudah memasuki bulan ramadhan sehingga ramai untuk “padusan” yakni
tradisi masyarakat yang mempunyai tujuan membersihkan diri untuk menyambut
datangnya bulan suci ramadhan. Tapi, lain dengan mbah jiah, ia mencuci beberapa
pakaiannya yang kotor. Selesai mencuci ia tak langsung pulang, dengan sisa-sisa
tenaga karena telah menempuh jalan yang tak mudah bagi orang seusianya. Segera
ia ambil sampah-sampah plastik yang akan dijualnya, mungkin hanya laku 1000
atau 2000 rupiah saja.
Ramadhan telah datang, sudah beberapa kali mbah jiah melewati ramadhan tanpa
sanak saudara. Hanya suro kecil yang menemaninya serta saksi bisunya dalam
menjalani cobaan demi cobaan yang telah ia lalui. Namun, ia tahu betul Tuhan
tidak buta. Akan ada balasan yang setimpal untuk setiap pengorbanan hidupnya.
-SELESAI-