Jumat, 28 Maret 2014

SURO TUA ITU

Sejenak, mata sayu itu tak melepas pandangannya selama 1 menit dari seorang anak dengan baju lusuh serta sandal jepit yang hampir putus. Kemudian teringat ia dengan Zaky,cucu laki-lakinya yang sudah meninggal dua tahun yang lalu. Diberikanya nasi bungkus yang ia beli tadi. “te..te..terima kasih nenek” kata anak malang tersebut seraya pergi. Mungkin ia malu atau tak sabar membaginya dengan anak-anak malang lain yang tengah kelaparan sepertinya. Dengan senyuman bahagia yang terlihat dari muka tuanya, mbah Jiah kembali, ditemani dengan tongkat yang juga tua miliknya.
            Waktu menunjuk pukul 15.00 saat itu ia sudah pergi mencari seseorang yang mungkin masih mau untuk adzan di suro dekat rumahnya. Diketok lah rumah Fani, pemuda yang biasanya adzan jika ia tak sibuk. Fani sudah semakin sibuk dengan pekerjaanya sekarang, ya mbah jiah memakluminya jika ia belum pulang sore itu. Memang, menjelang waktu untuk sholat ia selalu mencari lelaki yang dengan ikhlas mau untuk adzan. Kadang mereka datang sendiri, tetapi kadang mbah jiah yang mencarinya. Suro itu kini sepi, entah karena apa. Kadang ada beberapa tiga atau empat orang yang masih mau shalat berjamaah di suro. Walaupun begitu, mbah jiah yakin ada banyak malaikat di dalam suro itu selama ia masih beribadah dan berdzikir disana.  Lalu, dengan langkah berat ia terus berjalan, sampai di suatu persimpangan jalan, mbah Jiah bertemu dengan bapak paruh baya asing yang tak pernah ia lihat, bukan warga sini sepertinya. “mbah...mbah, masjid terdekat disini dimana ya?” tanya nya. “alhamdulillah, ayo ikut saya” mbah Jiah berkata pada orang itu. Dengan perasaan bingung bapak tersebut yang baru saja diketahui bernama Sarjo mengikuti saja mbah Jiah sampai ia sampai di depan suro  dengan halaman yang bersih. Ya, mbah jiah memang selalu menyapu halaman suro ini tiap pagi hari sebelum ia pergi ke sungai. “kok sepi mbah?”. “iya, maka dari itu lekaslah adzan”  perintahnya. Adzan selesai berkumandang, beberapa saat kemudian  dua orang perempuan dan satu orang laki-laki telah menempati shaf nya. “ Cuma segini mbah?”. “iya,sudah segeralah komat dan sholat” mbah jiah menjawab.
            Selesai shalat dan berdoa tentunya, pintu suro yang berdecit ditutup oleh mbah Jiah dengan sedikit usaha, mungkin karena ia sudah tua, tak seperti 26 tahun yang lalu saat ia masih kuat untuk mengelilingi ka’bah bersama ribuan orang lain serta mencium hajar aswad ditengah kerumunan orang dari berbagai negara. Mbah Jiah memang pernah pergi haji. Waktu itu tak akan ada yang mengira mbah Jiah yang dulu hanya seorang pekerja kasar di pasar setelah ditinggal mati suaminya bisa pergi haji. Anak satu-satunya mbah jiah memang ingin sekali bisa menaikkan haji ibunya. Ia mencoba berbagi cara sampai banyak acara kuis yang ia ikuti. Sampai akhirnya ia coba mengirimkan bungkus produk susu seperti iklan di tivi. Tak disangka-sangka bagi tersambar petir, ia menang juara satu dengan hadiah pergi haji gratis. Hadiah ini ia berikan untuk mbah Jiah. Sontak, bak api yang menyambar, berita tersebut menyebar hingga seluruh desa bahkan sampai desa-desa sebelah. Senang bukan kepalang ia dapatkan hadiah itu, ya tentunya sebelum ia tahu anak dan menantunya akan mengalami kecelakaan tragis sesaat ia pulang haji. Dalam kecelakaan itu hanyaZaky yang selamat, saat itu ia berumur 2 tahun. Sudah tak dapat dibayangkan lagi perasaan mbah Jiah ditinggal anak dan menantunya yang sudah bisa menaikkan nya haji. Cobaan belum usai untuk mbah Jiah, dua tahun lalu Zaky meninggal dunia karena demam berdarah, penyakit itu telah merenggut nyawa satu-satunya cucu mbah Jiah. Kini ia tinggal sendiri dengan rumah tua yang berada di samping suro. Dengan tubuh rentanya, ia hanya mengandalkan pensiunan suaminya sebagai pejuang veteran yang tentunya tak seberapa, hanya cukup untuk makan sehari-hari saja, kadang ia sisakan sedikit untuk bersedekah.
            “mbah, saya pulang dulu ya. Sebenarnya saya kesini untuk mencari teman tapi orangnya tidak ada” ujar pak Sarjo sambil memakai sepatu hitam yang tampak agak lusuh. “ya, pulanglah nak. Hati-hati” pesan mbah jiah. “wasalamualaikum”. “walaikumsallam”. Mbah jiah kembali kerumahnya, diambilnya beberapa pakaian kotor lekas ia pergi ke kali sekitar 50 meter dari rumahnya. Jalan kali yang dilalui sangat terjal serta menanjak apalagi sore itu jalanya sangat licin. Licin mungkin karena saking banyaknya orang yang datang sejak pagi tadi. Ya, besok sudah memasuki bulan ramadhan sehingga ramai untuk “padusan” yakni tradisi masyarakat yang mempunyai tujuan membersihkan diri untuk menyambut datangnya bulan suci ramadhan. Tapi, lain dengan mbah jiah, ia mencuci beberapa pakaiannya yang kotor. Selesai mencuci ia tak langsung pulang, dengan sisa-sisa tenaga karena telah menempuh jalan yang tak mudah bagi orang seusianya. Segera ia ambil sampah-sampah plastik yang akan dijualnya, mungkin hanya laku 1000 atau 2000 rupiah saja.
            Ramadhan telah datang, sudah beberapa kali mbah jiah melewati ramadhan tanpa sanak saudara. Hanya suro kecil yang menemaninya serta saksi bisunya dalam menjalani cobaan demi cobaan yang telah ia lalui. Namun, ia tahu betul Tuhan tidak buta. Akan ada balasan yang setimpal untuk setiap pengorbanan hidupnya.


                                                            -SELESAI-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar